Randai Kuantan Terus Bertahan

Posted on Sabtu, 15 Agustus 2009 by chisa

Sekelompok penari melakukan gerakan sederhana dengan melangkahkan kaki kanan dan kaki kiri bergantian. Setelah itu, saat semua penari menghentakkan kaki serampak ke tanah. Masing-masing penari membuat sebuah lingkaran seraya menarik penonton dan masuk menjadi bagian lingkaran itu.

Begitulah ketika Randai, tarian kesenian tradisional masyarakat Kuansing dimulai. Atraksi menarik itu, memukau peserta puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XVI dan Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat (B2GRM) VI 2009 se-Riau di Desa Sei Sorek, Kecamatan Kuantan Hilir, Kuantan Singingi (Kuansing), Sabtu (4/5/2009).

Bahkan, malam puncak itu, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Isteri Gubri Hj Septina Primawati Rusli, Bupati Kuansing Sukarmis, Wakil Bupati, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Bamasybangdes) Riau Wardan, Kepala Dinas Pendidikan Irwan Efendi bahkan dan unsur muspida setempat satu persatu ditarik para penari dan masuk dalam lingkaran tarian randai.

Tarian randai gerakannya sederhana, tarian itu disertai iringan suara musik yang keluar dari biola, gendang kayat, kerincingan dan calti. Yang paling khas, saat memainkan randai tidak ketinggalan lantunan syair-syair dan kata-kata nasehat.

“Tarian randai merupakan salah satu kesenian tradisional tertua yang masih terus dipertahankan di Kuansing. Selalu diadakan saat acara adat seperti pernikahan dan event-event nasional seperti pacu jalur,” ujar Said Mustafa Husein, Pengamat Budaya Kuansing kepada riaubisnis.com.

Tarian randai, kata Said merupakan akulturasi budaya Sumatera Barat dengan Kuansing. Biasanya tarian itu dipimpin seorang pawang yang mengatur dan mengarahkan joget. Makanya, ia menjelaskan, tarian randai yang ditampilkan pada puncak Harganas dan B2GRM Riau 2009 bukan merupakan tarian seutuhnya. Karena tarian randai yang utuh diiringi cerita rakyat (teater) yang biasanya menceritakan kondisi dan fenomena yang sedang terjadi.

”Isi yang terkandung dalam teater randai itu bisa berupa informasi, kritik pada pemerintah, tentang hubungan sosial, fenomena alam dan lain-lain,” kata Said.

Ia mengatakan, biasanya saat memasuki sesi cerita baru, barulah joget randai dilakukan. Itupun hanya dilakukan 10-30 orang dalam kelompok yang membentuk lingkatan.

”Yang masuk dalam lingkaran itu hanya pemain saja. Sedangkan penonton tidak ikut dalam lingkaran itu,” kata Said.

Menurut Said, sekarang, tradisi randai banyak yang dilakukan hanya tariannya saja, sedangkan randai seutuhnya sudah jarang dilakukan. ”Kalau tarian randai bisa dibilang sederhana, karena tidak memerlukan keahlian main teater. Pemain randai masih sering disewa saat pesta kawinan di kampung-kampung,” ucapnya.

Selain mempertahankan tradisi, pemain randai bisa mendapatkan hasil yang lumayan saat mendapat pesanan untuk memainkan randai. Karena rata-rata tarif menyewa randai berkisar antara Rp 750 ribu-1,5 juta per malam. ”Kalau sedang pesta ada yang memesan sampai pagi. Ada juga yang memesan hanya sampai siang,” katanya.

Uniknya, saat randai dimainkan, pemain bisa berinteraksi langsung dengan meminta syair dan pantun pilihan. Said mengatakan, bagi kalangan yang randai, bisa ikut menari sepuasnya serta meminta pantun-pantun permintaan.

”Penonton bisa meminta musik tertentu asalkan meletakkan uang ditengah-tengah lingkaran pemain, Kalau istilah sekarang request,” kata Said.

Di sela puncak Harganas dan B2GRM Riau Saat 2009 itu, Bupati Kuansing Sukarmis mengatakan, kesenian tradisional randai di Kuansing sedikit fakum dan nyaris punah. Melihat kondisi itu, ia langsung mengintruksikan saat acara-acara penting di Kuansing randai dijadikan kesenian wajib saat acara, khususnya saat event besar seperti HUT Kuansing dan pacu jalur.

”Tarian randai bisa membuat masyarakat berbaur bersama, selain itu masyarakat bisa menerima dan menyampaikan aspirasi melalui syair-syair pantun yang disampaikan pemain. Randai sangat tepat dijadikan media informasi,” ujar Sukarmis.

Untuk itu, kata Sukarmis, pihaknya akan tetap berupaya mempertahankan agar tradisi randai mendarah daging di hati masyarakat. (*)